Sebuah Kisah Ayam Goreng Mbah Cemplung

Bywidyawan

Sebuah Kisah Ayam Goreng Mbah Cemplung

Bukan, ini bukan tulisan tentang wisata kuliner. Well, at least I try to
Beberapa saat lalu saya diajak untuk makan siang bareng di warung ayam goreng. Warung mbah Cemplung namanya – ya, bagi orang Jawa seperti saya pun itu nama yang tidak biasa. Kecemplung (Jawa red.) dalam bahasa Indonesia berarti tercebur.

Warungnya terletak agak mblusuk di kampung, daerah Bantul. Letaknya di desa Sendang Semanggi, 3 km dari pabrik gula madukismo. Sepanjang jalan kesana masih hijau, pohon masih rimbun, khas suasana desa.
Tapi sesampai didepan warung, langsung terlihat ada lahan kosong yang cukup luas yang penuh berisi mobil mengkilat pada parkir.

Hmm, laris juga ternyata, saya membatin cukup terkejut. Tapi itu ternyata bukan keterkejutan terakhir. Sesudah duduk didalam, terlihat bahwa ruang cukup luas, penuh terisi pelanggan yang setia menunggu menu makan siangnya tersedia.
Kejutan lain lagi ternyata cara penyajiannya sangat sederhana.

Warung mbah cemplung ini menu utamanya berupa ayam goreng. Yang disajikan dengan nasi menggunakan cething (tempat nasi red.). Cethingnya simple, terbuat dari bahan kaleng, berwarna putih dengan bunga-bunga. Persis seperti tempat nasi > 20 tahun lalu. Piringnya pun begitu, berwarna putih dengan pola bunga. Dan terlihat sbg piring jadoel karena warna yang mulai pudar disana sini. Ditambah, ternyata diantara kami berempat diberikan piring beraneka warna 🙂 Bahkan kita akan dijamu menggunakan piring versi plastik bila yang beling sudah habis.

Well, dibalik kesederhanaan itu ternyata ayam gorengnya enak (sangat enak malah). Terenak yang pernah kami rasakan. Nasinya pun, kata orang tua, adalah nasi yang dimasak secara benar. Lalapan terong, sambal dan pete-nya, benar-benar mak nyus

So, dibalik kesederhanaan tampilan ternyata rasanya memang kualitas nomer satu. Tidak peduli letaknya yang jauh, harus antri, makan keringatan karena kepedesan dan tidak ada AC, piring gelas sederhana, semua tetap pada berdatangan.

Tiba-tiba teringat pemandangan beberapa resto cantik megah di jalan Palagan Yogya, yg tetap sepi walau jam makan telah tiba.

Tiba-tiba teringat cerita tentang kampus di India yang bangunannya jauh lebih sederhana dibanding Indonesia. Tapi toh kualitas pendidikannya diakui lebih baik ketimbang disini.  Buku textbook nya didatangkan jauh ke Indonesia ketika kuliah dulu. Banyak paper internasional di bidang engineering yang berisi nama-nama dari sana.

Dalam urusan apapun, ternyata kualitas dari core business, itulah yang utama. Citra, kemasan – atau apapun itu namanya – memang perlu, but quality is the best ambassador.

About the author

widyawan administrator