Kehebohan yang ditimbulkan oleh permainan Pokémon Go akhir-akhir ini memang cukup fenomenal sekaligus unik. Fenomenal karena melibatkan tidak hanya pemain (gamer), tapi bahkan sampai pejabat pemerintah (dari menteri – wakil presiden) ikut komentar atau mengeluarkan aturan/larangan. Umumnya karena kekhawatiran terhadap aspek keamanan, khususnya penyadapan data oleh pihak asing. Padahal, game ini belum di release secara resmi di Indonesia (Juli, 2016).
Unik, karena Pokémon Go pada dasarnya adalah sebuah permainan/game berbasis mobile apps. Seperti layaknya game lainnya, apps ini lebih ditujukan untuk menghibur dan menyenangkan penggunanya. Pemain game umumnya anak kecil – anak muda, bukan golongan pejabat dan orang tua :).
Tak kenal maka tak sayang, karena teknologi yang digunakan dalam game ini cukup inovatif (sehingga belum banyak dipahami), maka banyak timbul kesalah pahaman dan hoax. Mari kita bahas satu-satu teknologi yang digunakan berikut mitos yang menyertainya.
Lokasi
Permainan Pokémon Go merupakan game yang berbasis lokasi, artinya lokasi fisik dari pemain menentukan pola interaksi dengan aplikasi. Terdapat avatar (karakter dalam game yang merupakan representasi pemain) yang berjalan/berpindah sesuai posisi pemain. Interaksi berupa kemunculan karakter Pokemon, Pokestop, Gym dan lain-lain bisa disesuaikan dengan lokasi pemain tersebut. Dalam bahasa akademis, aplikasi ini termasuk kategori context-aware application.
Secara teknis, lokasi pemain didapatkan dari informasi GPS, triangulasi sinyal WiFi, atau triangulasi sinyal menara seluler. Teknologi ini sebenarnya sudah banyak digunakan dalam aplikasi lainnya. Google Map, Waze, GO-JEK, Facebook, Path, Foursquare adalah beberapa contoh aplikasi berbasis lokasi.
Posisi kita tentunya akan dikirim ke server, untuk kemudian memberikan layanan yang sesuai. Contoh: GO-JEK akan mencatat lokasi pemesan, untuk memilihkan pengemudi ojek yang terdekat.
Seharusnya, kekhawatiran terhadap penggunaan informasi lokasi di Pokémon Go tidak lebih besar dibandingkan ketika menggunakan GO-JEK, Google Map, Garmin GPS dan lainnya. After all, teknologi lokasi yang digunakan sama. Perusahaan-perusahaan tersebut, untuk menjaga kepercayaan pelanggannya, tentunya memiliki kebijkan kerahasiaan data yang ketat.
Dari sudut privasi, saya lebih khawatir membagikan nomor handphone ketika mengisi formulir kartu kredit di Indonesia. Karena ujung-ujungnya dibagikan dan berakibat datangnya banyak telepon tidak jelas menawarkan produk asuransi dan kartu kredit lainnya.
Peta dan Pemetaan
Banyak berita hoax yang beredar bahwa Pokémon Go akan digunakan untuk melakukan pemetaan lokasi strategis perkantoran, pemerintahan dan militer. Well, Niantic (perusahaan pembuat Pokémon Go) tidak perlu melakukan pemetaan, karena mereka sudah memiliki petanya!
Pokémon Go menggunakan peta yang disediakan oleh Google Map. Peta tersebut terbuka di Internet. Pengembang aplikasi pihak ke-3 bisa memanfaatkannya melalui Google Map API.
Too little, too late – kalau kita mengkhawatirkannya sekarang :p
Google Map merupakan peta outdoor, diambil berbasis gambar satelit maupun kamera yang dipasang di pesawat. Tidak ada informasi indoor yang terdapat di dalamnya.
Bagaimana untuk pemetaan dalam ruang (indoor)? Secara teknis, pemetaan dalam ruangan lebih susah untuk dilakukan. Teknologi yang digunakan umumnya berdasarkan pengukuran jarak menggunakan laser, ultrasound maupun depth-camera. SLAM (simultaneous localization and mapping) [1] merupakan salah satu algoritma, yang canggih sekaligus rumit, yang bisa digunakan untuk memetakan secara otomatis.
Penulis tidak melihat hardware yang digunakan Pokémon Go (mobile phone) dan aplikasinya mempunyai kemampuan untuk melakukan pemetaan indoor.
Kamera dan Augmented Reality
Salah satu teknologi terkini yang digunakan dalam permainan Pokémon Go adalah augmented reality (AR). Dengan teknik ini gambar digital akan ditambahkan (augmented) dalam pemandangan nyata yang ditampilkan oleh kamera.
Animal 4D+ merupakan salah satu apps produksi Octagon Studio Bandung [2] yang menggunakan teknik AR untuk aplikasi mereka.
Di media sosial beredar kabar bahwa gambar kamera yang digunakan dalam permainan, akan dikirimkan ke server Niantic, tanpa ijin. Untuk menguji hal tersebut, sebuah perusahaan bernama Applidium melakukan reverse engineering untuk mendapatkan kode sumbernya [3] (source code). Pada source code tersebut ternyata tidak ditemukan perintah untuk mengirimkan data gambar/video ke server Pokémon Go.
Bagaimana Menyikapinya?
Dari ulasan diatas bisa dilihat Pokémon Go merupakan permainan yang memanfaatkan teknologi yang cukup inovatif. Karena kebaruannya, maka timbul mitos dan kekhawatiran yang sebenarnya agak berlebihan maupun tidak berdasar. Teknologi tidak bisa dan tidak perlu dibendung. Sebaiknya kita ambil sisi positifnya, sambil membatasi efek negatif yang mungkin timbul.
Salah satu efek positifnya adalah pemain game ini akan didorong untuk lebih aktif secara fisik (bergerak dan berjalan) untuk berburu Pokemon. Interaksi dan komunikasi sosial dengan sesama pemain pun difasilitasi oleh permainan ini. Sudah bermunculan juga komunitas pemain Pokémon Go di Indonesia. Potensi yang lain adalah permainan ini bisa digunakan untuk sarana promosi, bisa untuk promosi pariwisata maupun usaha/bisnis komersial.
[1] H. Durrant-Whyte, Simultaneous localization and mapping, IEEE Robotics & Automation Magazine, Volume 13
[2] https://www.octagonstudio.com/4d/
[3] https://applidium.com/en/news/unbundling_pokemon_go/
About the author